第39話 - #DIKEJAR WARGA
Sewaktu SMP, saya mengikuti ekstrakulikuler Olahraga Sepak Bola. Sore harinya sekitar pukul empat sore saya menjemput teman saya dengan sepeda. Rumahnya tak jauh dari sekolah kami tepatnya berada di lingkungan Punia Mataram. Dan begitu saya tiba di rumah teman saya yang bernama Bambang, dengan santainya dia menjawab kalau dia tidak jadi ikut karena mau pergi anterin gebetannya yang baru dia kenal dua hari lalu. Padahal yang membuat janji untuk samaan berangkat ke lapangan adalah dia sendiri. Oke, saya akhirnya pergi sendiri ke lapangan Karang Sukun dengan berjalan kaki. Sepeda saya titipkan di rumah Bambang.
Kebun dekat sekolahan merupakan jalan alternatif menuju
lapangan yang berjarak kurang lebih satu setengah kilometer. Ya, sekolah saya dikelilingi kebun-kebun dan persawahan sehingga mendapat julukan sekolah mewah (mepet sawah). Namun kini tersiar kabar kalau sudah dikelilingi perumahan.
Saat melintasi kebun, tak satu pun saya temukan harimau maupun binatang buas lainnya. Mungkin bukan levelnya untuk berkecimpung di dunia kebun-kebunan. Di samping karena kebun itu memang bukan kebun liar meskipun banyak sekali terdapat pepohonan yang rindang dengan batang pohon yang berdiameter cukup besar. Kebun itu ada pemiliknya dan saya tak mengenal siapa pemilik kebun itu karena memang saya juga tidak ada kepentingan
dengan pemiliknya. Dedaunan dan tumbuhan merambat cukup menghalangi perjalanan suci saya menuju lapangan sepak bola. Satu persatu saya halau dengan kedua tangan saya. Lalu tiba-tiba terdengan suara teriakan penonton layaknya di stadion sepak bola. Awalnya saya pikir gemuruh dedaunan yang tertiup angin, namun ternyata itu adalah suara teriakan dari orang-orang yang ternyata sedang berada di kebun. Caci maki dari belahan nusantara berkumandang mewarnai perjalanan saya. Tanpa konsultasi dengan pikiran, saya langsung lari terbirit-birit untuk menghindari amukan warga yang ternyata sedang berburu burung di kebun (mikat).
“Sialan! Burung kita lepas,” teriak salah satu di antara mereka yang berjumlah sekitar tujuh orang. Layaknya seekor rusa yang diburu oleh gerombolan harimau, sambil berdo’a saya berlari sekencang-kencangnya! Karena saya tau konsekuensi yang akan saya terima apabila saya tertangkap. Untung saja sepatu belum saya pakai dan masih berada di dalam tas. Burung yang mereka gunakan sebagai pancingan pun ikut raib karena ulah saya. Bisa saya prediksi mereka mengalami kerugian sekitar ratusan ribu. Karena saya sempat melihat burung yang mereka gunakan untuk memikat memiliki bulu berwarna-warni. Entah mereka cat atau semir, yang jelas burung berbulu warna-warni lebih mahal harganya.
Di sinilah keterampilan saya dalam berlari diuji. Akhirnya saya
bisa selamat dan bertemu tukang ojek di jalan raya. Saya lalu menyuruh tukang ojek untuk mengantarkan saya menuju lapangan karang sukun.
Sesampainya saya di lapangan Karang Sukun, saya menceritakan kejadian yang saya alami di kebun. Dan ternyata teman saya juga pernah mengalami hal yang serupa dengan saya. Namun
bedanya dia justru digigit oleh anjing yang memang begitu banyak berkeliaran di area kebun. Sore itu juga saya taubat dan tak lagi melintasi kebun itu.